Memotret Kota

5:08 AM


Saat kita menuju suatu kota, untuk pertama kalinya, seringkali kita diarahkan untuk menuju satu area yang cukup dikenal. Kota Semarang misalnya, ada daerah Tugumuda atau Simpang Lima. Kemudian bermula dari titik tadi, kemudian mengarah ke daerah yang diinginkan.

Di area tadi, terdapat pula bangunan-bangunan yang menjadi ’tetenger’ yang memudahkan kita mengingat, seperti kalau di Tugumuda ada Lawang Sewu, Wisma Perdamaian, Gereja Katedral dan lainnya. Yang fotonya banyak terpajang di buku petunjuk wisata.

Secara fotografis, ’tetenger’ kota ini disebut dengan cityscape. Secara teknis pula tidak banyak bedanya dengan memotret landscape. Landscape adalah keindahan alam yang diciptakan Yang Kuasa, sedangkan cityscape atau bangunan arsitektural adalah keindahan yang dibuat oleh manusia.

Pencahayaan, kualitas dan arah
Mengabadikan bangunan di sebuah kota, bisa asal jepret, namun ada beberapa hal yang seharusnya diperhatikan bila ingin memotret arsitektur. Pencahayaan sepanjang hari umumnya menggunakan sumber alami yaitu matahari. Perhatikan arah cahaya, dan jam berapa Anda memotret. Pagi dan sore hari cahaya cenderung lembut, dan siang hari lebih keras. Bangunan Lawang Sewu misalnya, untuk bagian luar akan terlihat jelas bagus di sore hari, karena bangunan menghadap Barat, namun untuk interior dan bagian dalam, lebih bagus pada pagi hari. Perhatikan juga arah bayangan jatuh (shadow). Bayangan yang pas, juga akan mempertegas karakter gedung.

Garis edar semu matahari atau ekliptika, juga mesti diperhatikan. Arah bayangan pada pada setiap bulannya pasti berbeda. Konon, kota lama Semarang paling bagus difoto pada bulan September-Oktober, saat matahari condong ke Utara.

Nightshoot
Foto-foto bangunan juga indah saat malam hari, disaat lampu-lampu taman atau sorot menyala pada struktur bangunan. Namun, untuk mengabadikan foto malam ini tidak mudah. Kondisi cahaya yang kurang, akan mengurangi detail bangunan. Fokus juga seringkali bergeser pada area-area yang terang. Triknya adalah potret berulangkali dengan menggunakan metode bracketing, dengan pilihan variasi beberapa kecepatan, diafragma dan ISO. Gunakan pula tripod untuk menyeimbangkan gambar.

Gunakan Lensa Panjang
Seringkali kita terlalu dekat dengan gedung, atau menggunakan lensa lebar, akibatnya dalam foto, terlihat distorsi. Dinding-dindingnya seolah mencuat, meskipun hal ini juga terlihat unik. Penggunaan lensa standart atau tele, akan memperbaiki pandangan sehingga nampak wajar. Selain itu juga bisa menciptakan obyek-obyek yang unik dengan perspektif yang rata.

Ambil detil
Selain keseluruhan bangunan, coba lihat detil unik dan menarik yang mengelilingi gedung. Hiasan atap, kubah yang unik, jendela besar, pernik-pernik yang menempel di dinding luar, dan masih banyak lainnya. Carilah dan foto dengan sudut yang tidak biasa. Hal-hal ini seringkali bisa memperkuat karakter bangunan.

Tidak hanya gedung
Kebanyakan orang berpikir bahwa foto arsitektur adalah foto gedung. Padahal kalau mau melihat, masih banyak hal yang dibangun oleh manusia. Jembatan, monumen, menara, bendungan, lampu jalanan, dan masih banyak lainnya. Banyak hal yang tidak ’terlihat’ karena kita terbiasa melewatinya setiap hari, sehingga seolah-olah sudah paham benar dan tidak merasakan keunikannya.

Memotret arsitektur memang bisa dilakukan kapan saja, untuk itu coba pahami dengan memotret di setiap waktu. Lihat pula perubahan yang terjadi. Bagi negara dengan dua musim, seperti Indonesia, perubahan tak banyak dirasakan. Namun di negara dengan perubahan empat musim, suasana arsitekturalnya berubah dari waktu ke waktu. Saat musim salju, musim gugur atau musim semi, pasti kondisi dan lingkungan bangunan selalu berbeda.

Selain hal teknis diatas, ada hal non teknis, seperti kebijakan kota. Baik mengenai media luar ruang dan juga penempatan ikon baru. Saat ini, sulit untuk memotret Lawang Sewu atau Masjid Baiturrahman di Simpang Lima, tanpa menampakkan baliho iklan di sekitarnya. Banyak gedung yang arsitekturnya indah, namun hilang karena tertutup iklan.

Untuk ini memang pemimpin yang bijak mesti memperhatikan, agar identitas kota, tidak ’hilang’ tertutup rimba iklan.


R Khakim, dipanggil hakim, kelahiran Semarang, 1971.
Membantu peliputan dan pemotretan untuk majalah Hai Jakarta dari tahun 1989 - 2003 untuk wilayah Jateng - DIY.
Kuliah S1 Komunikasi Universitas Diponegoro.
Menjadi Pembicara di berbagai Workshop & Pelatihan Fotografi Dasar, Fotografi Jurnalistik, dan Kepenulisan.
Menjadi Dosen Luar Biasa di
Universitas Diponegoro, Universitas Dian Nuswantoro, Unimus dan Unika Soegijapranata Semarang.
Memberikan Pelatihan Fotografi bagi umum dan kalangan corporate.
Kontributor Martha Stewart Living Indonesia Magazine (2011).
Mengelola Digimage Photography.


Organisasi
Prisma
(Perhimpunan Seni Foto Mahasiswa Universitas Diponegoro) - Pembina
www.kfsemarang.com - penasehat (2011)

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook