Percaya saja deh, kalau dalam fotografi, cahaya menempati urutan nomor satu dan merupakan komponen utama dalam menentukan bagus tidaknya sebuah gambar. Sekecil apapun sumber cahaya yang ada, akan sangat menentukan citra apa yang ingin disampaikan seorang fotografer. Jadi, intinya kalau nggak ada sumber cahaya berarti sama dengan nggak ada foto. Nggak ada gambar. Gelap.
Prinsip utama fotografi –kalo melihat asal katanya, photos yaitu cahaya, dan graphos yaitu menggambar – memang cahaya (lighting). Seperti halnya mata kita yang dapat melihat alam berikut isinya di sekitar kita, karena adanya cahaya. Coba saja kalau mulai senja, mata kita juga mulai remang-remang dan kita mulai menyalakan lampu di rumah. Di jalan lampu jalan mulai menyala, mobil dan motor juga menyalakan lampu. Itu adalah usaha kita supaya tetap bisa melakukan aktivitas dengan baik. Begitupun dengan fotografi, ketika ada di luar ruang kita bisa memotret dengan baik, tapi kalau sudah dalam ruangan atau malam hari, seringkali gambar yang kita peroleh kurang baik. Bisa kurang cahaya atau kelebihan cahaya.
Prinsip keseimbangan cahaya yang ditangkap oleh media rekam (bisa film, sensor, kertas foto) diatur dengan kecepatan (speed) dan rana (diafragma). Banyak sedikitnya cahaya yang ingin ditangkap dan efek apa yang diinginkan semua diatur melalui sinergi speed dan diafragma. Memang ada satu sinergi lagi yang bisa dimanfaatkan yaitu kepekaan cahaya dari media rekam, yang umum dikenal dengan asa film, cuman biar nggak tambah bikin bingung, kita bikin posting sendiri mengenai asa ini.
Oke, kalau tadi dibilang ‘permainan’ speed dan diafragma akan menghasilkan satu citra yang bisa menimbulkan efek yang diinginkan fotografer, ada baiknya saya jelaskan apa itu speed dan diafragma. Speed atau kecepatan adalah waktu yang diperlukan oleh media rekam untuk menangkap cahaya yang direfleksikan oleh benda. Satuan yang umum dipakai adalah angka 30, 60. 125, 250 dst, itu artinya kecepatan yang dipakai adalah 1/60 detik, 1/125 detik dan seterusnya. Bayangin saja bagaimana cepatnya. Kalau mau lama, terutama untuk pemotretan malam atau low lighting, bisa digunakan speed rendah (hingga 30 detik atau tak terbatas). Kemudian diafragma adalah besar kecilnya rongga lensa yang dilewati oleh cahaya. Satuan yang dipakai adalah angka 1.8, 2, 4, 8, 11, 16, 22, makin kecil angka berarti makin besar bukaannya. Jadi kalau motret dalam kondisi terang pakai saja bukaan 16 atau 22, kemudian kalau low lighting ya kebalikannya, 1.8, atau 3.5.
Pemakaian kecepatan tinggi akan mengakibatkan obyek yang bergerak menjadi freeze (beku/kaku) begitu pula kebalikannya pada speed rendah, obyek yang bergerak akan nampak move bahkan bisa hilang tak tertangkap media rekam. Sedang pada diafragma lebih pada bidang fokus (deep of field).
Di luar itu masih bisa disinergi dengan kualitas lensa dan kualitas kamera yang dipake. Yang terang seperti kata pepatah ada harga ada rupa atau harga nggak pernah bohong, lensa yang baik akan memberi hasil yang baik pula.
Cuma kalau untuk belajar, kamera apa saja nggak masalah, yang biasa juga bisa menghasilkan gambar yang spektakuler. Yang penting ‘man behind the camera’.
Kalau kurang jelas dan mau diskusi, bisa email atau kasih komen….salam…